Minggu, 07 Desember 2008

Sistem Hukum Indonesia: Falsafah dan Filsafat Hukum ( III )

Frans Maramis
John Austin memisahkan secara tajam antara jurisprudence 1) (ilmu hukum) dan science of legislation (ilmu perundang-undangan). Walaupun kita tidak melakukan pemisahan secara tajam, tetapi kita perlu melakukan pembedaan antara keduanya itu.
Tahap persiapan dan penyusunan rancangan, yang merupakan bagian dari tataran science of legislation, merupakan hal penting karena dalam tahap ini kita perlu memikirkan tentang hukum yang kondusif2) bagi masyarakat dengan tingkat keragaman yang tinggi untuk tetap adanya persatuan dan sekaligus tentang hukum yang kondusif untuk mengawal bangsa yang berasaskan Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Pada tataran jurisprudence (ilmu hukum), hukum perlu tetap dipikirkan sebagai hukum yang kondusif untuk tingkat keragaman yang tinggi, sehingga hukum dapat berperan sebagai tali pengikat untuk persatuan bangsa, dan hukum yang kondusif untuk mengawal asas-asas dari bangsa kita.
Dalam pikiran tentang peran hukum sebagai tali pengikat persaatuan bangsa dan adanya keragaman yang tinggi dalam masyarakat, kita tidak dapat mengikuti pandangan Hans Kelsen yang hendak menyelesaikan masalah tersebut dengan membersihkan hukum dari semua aspek non-hukum - reine Rechtslehre - agar hukum dapat berlaku bagi semua orang. Akar masyarakat kita masih sebagai masyarakat dengan budaya tradisional di mana hubungan sosial dikuasai oleh cara-cara luar hukum(extra-legal means) yang lain, yang sasaran pokoknya adalah mempertahankan dan memulihkan keselarasan (harmony) lebih daripada penghargaan terhadap hukum. Pelaksana hukum kita, dan hakim, dengan meminjam kata-kata Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, “wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Walaupun demikian, kedudukan undang-undang, sebagai hasil kesepakatan dari pihak-pihak yang mewakili masyarakat, secara nalar perlu mendapat prioritas dalam sumber-sumber hukum.
Manado, 8 Desember 2008

Catatan:
1) Menurut John Austin: “The matter of jurisprudence is positive law: law, simply and strictly so called: or law set by political superiors to political inferiors”, dalam Ian McLeod, 2007. Legal Theory. Palgrave Macmillan, Hampshire, h. 73.
2) Condusive: membantu sesuatu untuk terjadi, cenderung untuk mendorong atau membawa hasil yang baik atau yang dikehendaki (Microsoft Encarta Reference Library 2003: “helping something to happen: tending to encourage or bring about a good or intended result”).

1 komentar:

Atho B Smith mengatakan...

Dilihat dari aspek hukum, apakah Pancasila itu dapat dipandang sebagai suatu "tatanan", ataukah sebagai suatu "sistem"?