Sabtu, 13 Desember 2008

Makna Undang-Undang Bagi Masyarakat Indonesia

Frans Maramis
Hammurabi (1795-1750 S.M.), raja Babylon, terkenal karena di bawah pemerintahannya dibuat suatu kitab hukum yang merupakan kitab hukum pertama dalam sejarah tertulis. Kitab hukum Hammurabi (the Code of Hammurabi) ini ditulis dipermukaan suatu monumen batu setinggi 2 meter (six feet) yang diletakkan di tempat umum supaya semua orang dapat melihatnya.
Kerajaan Majapahit (1293 – 1500), juga memiliki peraturan tertulis, yaitu undang-undang agama (agama dalam bahasa Sansekerta berarti pengetahuan, adat, ajaran). Undang-undang agama ini setidak berpengaruh di pusat kerajaan. Jadi, di mana-mana, jika masyarakatnya sudah teratur dan mantap secara politik, cenderung dibuat peraturan-peraturan tertulis untuk mengatur masyarakatnya. Tertulis dan dipublikasikan merupakan karakteristik peraturan dari masyarakat yang sudah teratur dan mantap secara politik.
Tetapi arti pentingnya undang-undang (peraturan tertulis) berdasarkan pengalaman masyarakat itu sendiri, nanti muncul di Eropa sebagai akibat pemerintahan sewenang-wenang dari para raja absolut. Berkat tulisan-tulisan antara lain dari Montesquieu dan Cesare Beccaria, maka sesudah Revolusi Perancis (1789) mulai dibuat kodifikasi-kodifikasi hukum. Jadi, bagi masyarakat Eropa, undang-undang benar-benar dirasakan amat penting dan perlu berdasarkan pengalaman mereka sendiri.
Bagi masyarakat di Indonesia, sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit, peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa kerajaan, dilupakan. Masyarakat di Kepulauan Nusantara ini nanti mengenal kembali undang-undang sesudah datangnya bangsa Belanda.
Dengan demikian, bagi masyarakat Indonesia , makna perlunya undang-undang, memang bukan lahir dari pengalaman masyarakat itu sendiri, bukan seperti masyarakat Eropa, melainkan dipandang perlu karena pertimbangan nalar.

Rabu, 10 Desember 2008

Budaya Hukum di Indonesia dan Kedudukan Undang-Undang

Frans Maramis
Akar masyarakat Indonesia masih sebagai masyarakat tradisional dengan tipe hukum yang oleh Rene David digambarkan sebagai tipe hukum di mana hubungan sosial dikuasai oleh cara-cara luar hukum (extra-legal means) yang lain, yang sasaran pokoknya adalah mempertahankan atau memulihkan keselarasan (harmony) lebih daripada penghargaan terhadap hukum.1) Tipe hukum ini memiliki asas antara lain bahwa tiap kerugian mewajibkan pemulihan, terlepas dari soal ada tidaknya kesalahan pada pelaku;2) jelas bahwa tekanan di sini adalah pada mempertahankan atau memulihkan keselarasan (harmony). Di lain pihak, agama Islam, yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, merupakan suatu tipe hukum yang oleh Rene David digambarkan sebagai tipe hukum di mana kuat pandangan bahwa ada hukum yang lebih tinggi daripada kebiasaan setempat (yang dipandang sebagai “a phenomenon of fact”) maupun hukum penguasa (yang dipandang semata-mata bersifat administratif), sehingga kebiasaan setempat dan hukum penguasa ini dipandang tidak mempunyai martabat yang penuh sebagai hukum.3)
Dengan latar belakang ini, maka masyarakat memiliki persepsi bahwa undang-undang bukan sesuatu yang istimewa; malahan cenderung merupakan sesuatu yang dipakai oleh penguasa untuk menindas rakyat. Naluri ini diperkuat oleh karena “tipe hukum yang menempatkan undang-undang sebagai pengatur masyarakat” dibawa oleh bangsa Belanda yang dikenal sebagai penjajah dan juga pengalaman-pegalaman masa sebelumnya di mana sering undang-undang merupakan sarana memperkuat kepentingan penguasa dan pihak-pihak yang dekat dengan penguasa.
Tetapi, “tipe hukum yang menempatkan undang-undang sebagai pengatur masyarakat” telah berabad-abad, sejak kedatangan bangsa Belanda sampai kini, menguasai pikiran kaum intelektual dan pemerintah. Hal ini karena tipe hukum ini dilihat sebagai : 1. Membawa kemudahan bagi para aparat pemerintah karena tertulis sehingga ada patokan yang jelas dan tegas; 2. Membawa kemudahan dalam rangka pengaturan masyarakat karena masyarakat selayaknya taat pada peraturan-peraturan yan dibuat oleh badan-badan yang berwenang untuk itu ; 3. Dari segi isinya mempunyai kelebihan karena telah dipikirkan terlebih dahulu secara rasional dari berbagai segi; dan berbagai kelebihan lain.
Secara nalar undang-undang diperlukan untuk mengatur kehidupan bermasyarat, berbangsa dan bernegara, yang di dalamnya tergabung kelompok-kelompok orang yang berbeda-beda dari sudut tertentu.
(11 Desember 2008, pukul 00.54 WITA, walau tulisan masih menggantung, ditutup dan di-posting dulu)

Catatan:
1) Rene David dan J.E.C. Brierly, 1978. Major Legal Systems in the World Today. Stevens & Sons, 2nd edition, h. 26.
2) C. van Vollenhoven, 1972. Suatu Kitab Hukum Adat Untuk Seluruh Hindia Belanda. Bhratara, Jakarta.
3) Rene David, op.cit., h. 26, 27.

Minggu, 07 Desember 2008

Sistem Hukum Indonesia: Falsafah dan Filsafat Hukum ( III )

Frans Maramis
John Austin memisahkan secara tajam antara jurisprudence 1) (ilmu hukum) dan science of legislation (ilmu perundang-undangan). Walaupun kita tidak melakukan pemisahan secara tajam, tetapi kita perlu melakukan pembedaan antara keduanya itu.
Tahap persiapan dan penyusunan rancangan, yang merupakan bagian dari tataran science of legislation, merupakan hal penting karena dalam tahap ini kita perlu memikirkan tentang hukum yang kondusif2) bagi masyarakat dengan tingkat keragaman yang tinggi untuk tetap adanya persatuan dan sekaligus tentang hukum yang kondusif untuk mengawal bangsa yang berasaskan Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Pada tataran jurisprudence (ilmu hukum), hukum perlu tetap dipikirkan sebagai hukum yang kondusif untuk tingkat keragaman yang tinggi, sehingga hukum dapat berperan sebagai tali pengikat untuk persatuan bangsa, dan hukum yang kondusif untuk mengawal asas-asas dari bangsa kita.
Dalam pikiran tentang peran hukum sebagai tali pengikat persaatuan bangsa dan adanya keragaman yang tinggi dalam masyarakat, kita tidak dapat mengikuti pandangan Hans Kelsen yang hendak menyelesaikan masalah tersebut dengan membersihkan hukum dari semua aspek non-hukum - reine Rechtslehre - agar hukum dapat berlaku bagi semua orang. Akar masyarakat kita masih sebagai masyarakat dengan budaya tradisional di mana hubungan sosial dikuasai oleh cara-cara luar hukum(extra-legal means) yang lain, yang sasaran pokoknya adalah mempertahankan dan memulihkan keselarasan (harmony) lebih daripada penghargaan terhadap hukum. Pelaksana hukum kita, dan hakim, dengan meminjam kata-kata Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, “wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Walaupun demikian, kedudukan undang-undang, sebagai hasil kesepakatan dari pihak-pihak yang mewakili masyarakat, secara nalar perlu mendapat prioritas dalam sumber-sumber hukum.
Manado, 8 Desember 2008

Catatan:
1) Menurut John Austin: “The matter of jurisprudence is positive law: law, simply and strictly so called: or law set by political superiors to political inferiors”, dalam Ian McLeod, 2007. Legal Theory. Palgrave Macmillan, Hampshire, h. 73.
2) Condusive: membantu sesuatu untuk terjadi, cenderung untuk mendorong atau membawa hasil yang baik atau yang dikehendaki (Microsoft Encarta Reference Library 2003: “helping something to happen: tending to encourage or bring about a good or intended result”).

Sistem Hukum Indonesia: Falsafah dan Filsafat Hukum ( II )

Frans Maramis
Sejak Soekarno dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, menyebut Pancasila sebagai philosofische grondslad yang di atasnya kita mendirikan Negara Indonesia, 1) maka sejak itu Pancasila dipandang sebagai falsafah (way of life) bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, merupakan jiwa bangsa Indonesia, yang dirumuskan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hitmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lambang Negara Indonesia 2) juga berupa burung garuda dengan lambang lima sila Pancasila di sebuah perisai di dada dan cakarnya memegang kain yang bertuliskan kata-kata bahasa Jawa-Kuno: Bhinneka Tunggal Ika. 3) Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu jua), mengingatkan bahwa bangsa Indonesia amat beragam, baik dari segi agama, suku, hukum , dan sebagainya, yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan suatu bangsa, 4) bangsa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan Sistem Hukum Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Catatan:
1) Anonim, 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kmerdekaan Indonesia (BPUPKI). Peniait Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, h. 63 – 84.
2) Pasal 36A UUD 1945: Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
3) Bentuk, warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951.
4) Menurut Ernest Renan, What is Nation, terjemahan ke bahasa Inggris dalam http://www.cooper.edu/humanities/core/hss3/e_renan.html : A nation is a soul, a spiritual principle. Two things, which in truth are but one, constitute this soul or spiritual principle. One lies in the past, one in the present. One is the possession in common of a rich legacy of memories; the other is present-day consent, the desire to live together, the will to perpetuate the value of the heritage that one has received in an undivided form (Suatu bangsa adalah suatu prinsip jiwa, suatu semangat. Dua hal, yang sebenarnya satu, membentuk prinsip jiwa atau semangat ini. Satu terletak di masa lampau, dan satu di masa sekarang. Yang satu adalah kepemilikan umum atas suatu warisan kenangan; yang lain adalah kesepakatan masa kini, yakni kehendak untuk hidup bersama, keinginan untuk mengabadikan nilai warisan yang diterima dalam suatu bentuk yang tak terbagi). Selanjutnya dikatakannya bahwa: The nation, like the individual, is the culmination of a long past of endeavours, sacrifice, and devotion (Bangsa, sebagaimana individu, adalah kulminasi dari suatu usaha, pengorbanan, dan kebaktian jangka panjang).
(BERSAMBUNG)
Manado, 7 Desember 2008

Sabtu, 06 Desember 2008

Sistem Hukum Indonesia: Falsafah dan Filsafat Hukum ( I )

Frans Maramis

Pada mulanya kelompok-kelompok masyarakat di kawasan Kepulauan Nusantara ini hidup menurut adat dan hukum adat mereka masing-masing. Dari sudut pengelompokan sistem hukum, Rene David menyebutnya sebagai tipe di mana paham hukum sebagai pengatur hubungan-hubungan sosial, ditolak, dan hubungan sosial dikuasai oleh cara-cara luar hukum (extra-legal means) yang lain, di mana sasaran pokok adalah mempertahankan dan memulihkan keselarasan (harmony) lebih daripada penghargaan terhadap hukum. 1) Masuknya agama Budha dan Hindu mendorong lahirnya beberapa kerajaan yang dalam wilayahnya berlaku aturan-aturannya yang dipengaruhi oleh agama Budaha atau Hindu. Menyusul kemudian masuknya agama Islam yang juga mendorong lahirnya beberapa kerajaan (kesultanan) yang dalam wilayahnya berlaku aturan-aturan yang dipengaruhi agama Islam dan yang telah mendesak kerajaan-kerajaan sebelumnya. Agama Islam ini menyebar luas di kawasan Kepulauan Nusantara, dan hukum Islam telah mempengaruhi adat dan hukum adat dari berbagai masyarakat, walaupun besarnya pengaruh itu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Dari sudut pengelompokan sistem hukum, Rene David menyebutnya sebagai tipe di mana hukum diakui secara penuh mempunyai nilai yang istimewa (eminent value), tetapi konsep mereka tentang hukum adalah bahwa terdapat hukum yang lebih tinggi daripada kebiasaan setempat maupun hukum dari penguasa. 2)
Ketika bangsa Belanda datang di kawasan kepulauan Nusantara – mulanya sebagai VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda - mereka melihat adanya pluralisme hukum, di mana ada aneka ragam hukum adat dan adanya pengaruh dari hukum Islam yang luasnya berbeda-beda atas aneka ragam hukum adat itu, di samping adanya pengaruh hukum Hindu untuk wilayah tertentu. Bangsa Belanda datang dengan membawa hukumnya sendiri, di mana di masa Pemerintah Hindia Belanda, tipe hukum mereka merupakan tipe yang oleh Rene David dikelompokkan sebagai keluarga hukum Romawi-Germania (Romano-Germanic family), yang juga disebut Civil Law system (sebagai lawan dari Common Law system), atau yang lebih kita kenal sebagai sistem Kotinen Eropa. Tipe hukum ini mengutamakan peraturan tertetulis (undang-undang) dan adanya sistem kodifikasi hukum. Bangsa Belanda secara berangsur-angsur mengusai kawasan Kepulauan Nusantara dan hukum mereka berpengaruh besar, di samping pengakuan terhadap hukum adat dan hukum Islam. Hukum yang dibawa Pemerintah Hindia Belanda ini telah menambah pluralisme hukum di kawasan Kepulauan Nusantara.
Setelah Indonesia merdeka mulai dibuat undang-undang nasional. Dalam perkembangannya, undang-undang nasional ini harus juga memperhatikan kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara dalam masyarakat internasional, sehingga telah memasukkan berbagai ketentuan sesuai dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai konvensi internsional, seperti WTO, dan sebagainya.
Dengan demikian, Sistem Hukum Indonesia terdiri atas empat subsistem 3), yaitu: 1. Undang-Undang Nasional, 2. Bagian-bagian tertentu dari hukum adat, 3. Bagian-bagian tertentu dari hukum Islam, dan 4. Bagian-bagian tertentu dari hukum peninggalan Hindia Belanda (yang biasanya disebut: hukum barat).
Untuk merekat masing-masing subsistem sebagai suatu Sistem Hukum Indonesia, ada beberapa asas yang dipegang, antara lain: 1. Di mana telah ada undang-undang nasional, maka undang-undang nasional itu yang berlaku, kecuali undang-undang nasional itu menunjuk pada suatu subsistem (misalnya dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditunjuk bahwa bila perkawinan putusan karena perceraian, hara bersama diatur menurut hukumnya masing, yang dalam penjelasan diberi keterangan bahwa Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya); 2. KUHPerdata sebagai rechtsboek (buku hukum), yang sekalipun secara formal tidak berlaku bagi golongan lain tapi rumusan-rumusan pasal di dalamnya dapat digunakan oleh semua penduduk (SE Mahkamah Agung No.3/1963).
Di luar daripada peraturan-peraturan dalam Sistem Hukum Indonesia, yang tampaknya “tidak ada masalah”, dalam Sistem Hukum Indonesia terkandung berbagai falsafah dan filsafat hukum yang berbeda secara tajam. Bagaimana kita menghadapi hal ini?
Manado, 7 Desember 2008
(BERSAMBUNG)

Catatan:
1) Rene David dan J.E.C. Brierly, 1978. Major Legal Systems in the World Today. Stevens & Sons, 2nd edition, h. 26.
2) Ibid., h. 26, 27.
3) Pengertian subsistem di sini yakni sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia, walaupun apa yang disebut sebagai subsistem ini sebenarnya masing-masing merupakan sistem yang lengkap, misalnya hukum Islam merupakan sistem yang mencakup keseluruhan bidang hukum, seperti hukum tata negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, dan sebagainya.

Rabu, 03 Desember 2008

pada mulanya ...

Coba buat blog didampingi oleh Ronny Maramis