Di Indonesia sekarang ini terjadi tarik menarik antarpihak, di mana masing-masing pihak merasa bahwa pihaknya yang berwenang mengatur pokok tertentu. Dalam era otonomi daerah di Indonesia, hal ini terjadi antara para pembuat peraturan dalam lingkungan pemerintah, yaitu antarpemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Juga antarpihak pemerintah dan masyarakat-masyarakat lokal , sehingga telah melahirkan tuntutan untuk pengakuan atas pluralisme hukum (legal pluralism). Dengan demikian terjadi benturan-benturan kepentingan di mana semua pihak menginginkan agar hukum berada di pihaknya, yang mengingatkan akan kata-kata Austin T. Turk tentang hukum sebagai senjata dalam konflik sosial (law as a weapon in social conflict).
Dalam situasi seperti ini selayaknya kita menaruh perhatian yang lebih besar lagi pada fungsi hukum sebagai penyeimbang antarwewenang mengatur , di mana masing-masing pihak tersebut perlu memegang lingkup wewenang mengatur yang proporsional berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pemerintah pusat misalnya selayaknya memegang wewenang mengatur urusan-urusan yang memiliki lingkup nasional, seperti urusan pertahanan keamanan nasional, terorisme, narkotika dan psikotropika, dan sebagainya. Pihak pemerintah provinsi terhadap pemerintah pusat dapat memperjuangkan wewenang mengaturnya dengan argumentasi-argumentasi melalui saluran resmi seperti Dewan Perwakilan Daerah dan media-media lain. Demikian pula masyarakat-masyarakat lokal dapat memperjuangkan wewenang mengaturnya dengan argumentasi-argumentasi melalui jalur resmi dan berbagai media untuk memberikan tekanan pada pemerintah pusat ataupun daerah. Melalui berbagai sarana tersebut diyakini bahwa hukum akan bergerak mencapai solusi yang lebih baik bagi para pihak sebagaimana gagasan Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). ***
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Postingan (Atom)